Selasa, 25 Oktober 2011

Awas, Ada Jurig Missed Calls!


Awas, Ada Jurig Missed Calls!

“Aduh, handphone saya gak ada!!!”
“Jangan panik dulu! Coba missed calls”.
            Sepenggal percakapan di atas mungkin sering terdengar atau bahkan kita alami. Ketika seseorang panik mencari handphone, maka secara refleks orang yang berada di dekatnya akan menyarankan untuk memissed-calls dengan tujuan handphone tersebut segera ditemukan. Di masa pendewaan teknologi seperti saat ini, handphone bukan lagi barang aneh, namun kini handphone sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Karena kegunaannya sebagai alat komunikasi multifungsi, kita tidak bisa terlepas dari handphone dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Dengan handphone, kita dapat saling mengirim kabar, menginformasikan sesuatu, bercengkarama, atau bahkan berdiskusi setiap saat walaupun  jarak saling berjauhan.
Melalui handphonelah kita mengenal kata missed calls. Missed calls dalam bahasa Indonesia berarti panggilan yang terlewatkan atau penggilan yang tak terjawab/diterima. Rasanya dari menu pengaturan bahasa di handphone itu sendiri, kita sudah bisa mengetahui apa terjemahan dari missed calls. Permasalahannya bukan pada arti atau terjemahan kata tersebut, tetapi pemakaiannya di masyarakat.
Penggalan percakapan yang ditulis di atas memperlihatkan terjadinya perubahan dalam kata missed calls. Ada dua perubahan yang terjadi kata missed calls dalam pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, dari segi pembentukan kata (morfologis) kata missed calls termasuk kata benda, namun dalam percakapan di atas kata missed calls digunakan sebagai kata kerja. Jika kita ingin mengubah kata missed calls dari kata benda menjadi kata kerja, seharusnya diberi imbuhan depan me- (menjadi memissed-calls) atau imbuhan depan di- (menjadi dimissed-calls). Dalam kasus di atas alangkah lebih baik jika kita menggunakan kata dihubungi saja ketimbang kata dimissed-call. Kedua, dari segi makna (semantik) kata missed calls berarti panggilan yang tidak terjawab. Contoh kasus, satu waktu si A bermaksud menelepon si B, namun oleh si B tidak dijawab secara sengaja atau tidak sengaja karena beberapa sebab. Nah, seperti itulah yang dimaksud missed calls atau panggilan tidak terjawab. Lalu bagaimana kata missed calls yang dipakai masyarakat sekarang? Satu waktu si A menelepon si B, lalu dengan sengaja si A memutuskan panggilan telepon tersebut sebelum si B sempat menjawab. Kasus seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Tujuan melakukan missed calls seperti itu bisa bermacam-macam; ada yang hanya iseng-iseng, ada yang ingin mencari perhatian, dan ada juga yang minta ditelepon balik. Jadi perlu ditekankan lagi, konsep missed calls yang sesungguhnya yaitu suatu panggilan tidak dijawab/diterima secara sengaja atau tidak sengaja oleh pihak yang ditelepon, bukan pemutusan telepon oleh pihak yang menelepon.
Makna baru dari kata missed calls sudah mengakar masyarakat. Sekarang kata tersebut sudah menjadi jargon baru bagi pengguna telepon seluler (handphone). Lebih parahnya lagi, sekarang missed calls seperti menjadi suatu kebiasaan (budaya) masyarakat di Indonesia. Fenomena lainnya yang lucu, kata missed calls sering pula diucapkan ketika seseorang mencari barang-barang lain. Masyarakat Indonesia khususnya urang Sunda memiliki julukan untuk orang yang sering melakukan missed calls dengan sebutan jurig (hantu)missed calls. Terserah tujuan atau alasan seseorang melakukan missed calls, yang penting orang yang dimissed-calls tidak merasa terganggu dan maksud missed calls tersebut tersampaikan. Jadi apakah anda termasuk jurig missed calls?


Hari Valentine



Hari Valentine = Hari Lemak Sedunia

“Wah, saya harus ngasih apa ya buat tanggal 14 Februari nanti?”
            Di antara kita mungkin ada yang sedang berpikir seperti itu. Ya, hal tersebut tidaklah mengherankan, sebab di tanggal tersebut ada sebuah perayaan kasih sayang. Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan perayaan tersebut, bahkan sebagian dari kita, khususnya remaja, ada yang merayakannya. Ya benar sekali, perayaan yang digelar pada tanggal 14 Februari itu adalah Hari Valentine.
            Untuk merayakan Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang,  biasanya orang-orang akan saling bertukar hadiah/kado. Mereka memberikan hadiah kepada orang yang disayangi, bisa kepada sahabat, saudara, orang tua, bahkan guru. Orang yang merayakan Hari Valentine meyakini bahwa hadiah merupakan simbol kasih sayang; sesuatu yang dapat mengungkapkan rasa sayang si pemberi hadiah kepada yang diberi. Oleh karena itu, sebagian orang sudah merencanakan hadiah jauh-jauh hari, bahkan ada yang sengaja menabung untuk membeli hadiah tersebut.

Perihal Cokelat
            Berbagai macam kado dapat diberikan kepada seseorang, namun yang paling populer adalah cokelat. Cokelat memang sangat identik dengan Hari Valentine. Hal ini sudah dimulai sejak berabad-abad lalu di Perancis (put3zone.blogsopt.com). Pada bulan Februari, Perancis mengalami musim dingin, jadi orang-orang saling memberi cokelat agar bisa dikonsumsi, baik dimakan langsung atau dijadikan minuman ‘cokelat panas’. Kebiasaan memberi cokelat itu kemudian mendunia dan dilakukan semua warga dunia, termasuk juga di Indonesia.
Kita patut waspada dengan simbol kasih sayang yang satu ini. Walaupun rasanya lezat dan memiliki manfaat bagi kesehatan, cokelat pun ternyata memiliki dampak buruk. Di sebuah artikel dalam jurnal Lancet (blog.unsri.ac.id) dituliskan bahwa banyak perusahaan membuang kandungan flavanol dalam cokelat karena rasanya yang pahit. Padahal flavanol adalah zat yang baik untuk kesehatan. Para produsen cokelat malah menambahkan kadar gula dalam cokelat tersebut hingga akhirnya terasa manis dan lezat. Tentu saja, gula sangat berbahaya bagi jantung dan pembuluh darah, karena dapat menyebabkan penyakit jantung, diabetes, dan stroke. Selain itu, kandungan gula dengan kadar tinggi pun dapat merusak gigi kita. Ditambah lagi, beberapa kasus tentang penggunaan minyak babi pada cokelat agar rasanya lebih lezat. Bagi umat islam, minyak babi pada pembuatan cokelat tentu saja hukumnya haram. Dari penjelasan-penjelasan tersebut, alangkah baiknya jika kita mendapatkan banyak cokelat, tidak ada salahnya kita berbagi cokelat dengan orang-orang yang kurang beruntung secara ekonomi dan belum tentu bisa memakan cokelat.

Asal-muasal Hari Valentine
Perayaan Hari Valentine sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum ada perayaan di Perancis. Menurut beberapa referensi, perayaan Hari Valentine sudah dilakukan di Romawi Kuno sekitar abad 2-3 M. Pada masa itu, bangsa Romawi meyakini bahwa pendiri kota Roma disusui oleh seekor serigala betina, sehingga serigala itu memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Bangsa Romawi memperingati peristiwa ini pada pertengahan bulan Februari setiap tahun dengan peringatan yang megah (ugiq.blogspot.com, 2010).
Kemudian, saat agama katolik masuk dan dianut bangsa Romawi terjadi sebuah kisah tragis. Seorang santo (pendeta katolik) bernama St. Valentine, dihukum mati oleh Raja Romawi. Ia dihukum karena telah menentang raja dengan menikahkan pasangan muda-mudi secara sembunyi-sembunyi. Kaisar Romawi saat itu melarang adanya pernikahan karena para pemuda diwajibkan jadi prajurit perang. Untuk mengagungkan dia (St. Valentine), yang dianggap sebagai simbol kasih sayang, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai upacara keagamaan pada tanggal 14 Februari (tanbihul_ghafilin.tripod.com).
            Sebenarnya banyak kisah yang diyakini berhubungan dengan asal-usul Hari Valentine, namun semuanya tidak jelas. Ada yang bermula pada dongeng ada juga yang bermula dari upacara keagamaan (katolik). Oleh karena itu apakah kita akan mengikuti sebuah perayaan yang tidak jelas asal-usulnya? Apakah kita berharap bisa jadi bagian perayaan yang bermula pada upacara keagamaan umat Katolik Roma tersebut?

Komersialisasi Hari Valentine
            Kalau kita datang ke pusat-pusat perbelanjaan pada bulan Februari, pasti menemukan ada yang berbeda. Ya benar sekali, pada bulan ini para pengelola pusat perbelajaan biasanya mendekorasi sudut-sudut tempat tersebut dengan warna merah muda, bentuk hati, dan cokelat. Hal tersebut menandakan bahwa Hari Valentine di Indonesia telah dikomersialisasikan, artinya digunakan untuk meningkatkan penjualan produk mereka, seperti cokelat dan berbagai hadiah lainnya (majalah.tempointeraktif.com). Dengan ikut merayakaan Hari Valentine kita sama saja dengan mendukung sistem komersialisasi tersebut.
Hari Valentine merupakan bentuk penjajahan baru kaum Eropa, yaitu di bidang budaya dan ekonomi. Jika kita ikut merayakannya sama saja seperti mengikuti kebudayaan hura-hura orang Eropa, contohnya merayakan bersama orang yang bukan mukhrimnya, melakukan perayaan yang besar-besaran (hura-hura) dan membeli barang-barang (boros). Padahal Allah Swt. tidak menyukai sikap hura-hura dan boros. Jangan sampai kita menjadi orang yang tidak disukai Allah Swt. Semoga kita selalu berada dalam keridhoan Allah Swt.
“Jadi, apakah kamu akan ikut-kutan merayakan Hari Valentine?”   

Interferensi Bahasa, Ancaman Budayakah?*


Interferensi Bahasa, Ancaman Budayakah?*

Bahasa Indonesia sebagai salah satu produk daya pikir bangsa Indonesia sudah sepatutnya dipelihara kelangsungan hidupnya. Selain sebagai bahasa pemersatu bahasa-bahasa ibu di Indonesia, bahasa Indonesia merupakan bukti otentik bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar.
Perkembangan bahasa Indonesia saat ini sedang diperbincangkan banyak orang. Perbincangan ini seputar pemakaian bahasa asing ditengah bahasa Indonesia. Interferensi atau campur tangan bahasa asing terhadap bahasa Indonesia menimbulkan permasalahan di kalangan pemerhati bahasa Indonesia sendiri. Sebenarnya interferensi bahasa asing terhadap bahasa Indonesia bukanlah fenomena baru dalam perkembangan bahasa Indonesia.
Lahirnya Bahasa Indonesia
            Kita yakini bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, lalu apa benar bahasa Indonesia hanya lahir dari bahasa tersebut? Dilihat secara historis, bahasa Indonesia lahir memang dari satu rahim ibu yaitu bahasa Melayu, namun berbagai bahasa “ayah” saling mengisi dan melengkapi. Menurut Remy Silado dalam bukunya 9 dari 10 Bahasa Indonesia Adalah Bahasa Asing sudah sangat jelas menegaskan bahwa sebenarnya bahasa Indonesia merupakan campuran dari berbagai bahasa. Sebut saja bahasa Arab, Cina, Belanda, Inggris dan berbagai bahasa lain di Eropa, sudah  menyumbang dalam khazanah bahasa Indonesia.
            Seharusnya kita tidak kalang kabut ketika mengetahui keadaan bahasa Indonesia sekarang yang sedang diagresi bahasa asing. Dikepung dari berbagai arah, terutama dari media massa, karena media massa merupakan senjata pamungkas yang bisa menghancurkan benteng bahasa dengan mudah. Kondisi konsumtif masyarakat Indonesia sendiri yang malah mempermudahrkan agresi bahasa tersebut. 
Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan salah satu unsur budaya, maka interferensi bahasa asing terhadap bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk intervensi budaya asing terhadap budaya Indonesia. Maraknya kata-kata bahasa Inggris dalam pelafalan masyarakat sehari-hari merupakan salah satu indikasi bahwa budaya kita sendiri sedang dicampurtangani oleh budaya Inggris (dibaca: budaya barat). Dalam Bahasa Bantu karya Drs. Ma’mur Saadie, M.Pd  dkk, jumlah kata dari bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia terbanyak yaitu bahasa Arab lalu disusul oleh bahasa Belanda. Tentu saja masuknya bahasa-bahasa tersebut dilatarbelakangi keadaan budaya pada masa itu.  
Sejak masa pendeklarasian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pada tahun 1928, bahasa Indonesia sudah menyerap banyak bahasa Arab. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Masuknya islam sebagai agama yang dibawa oleh para pedagang bangsa Arab (Arab, Gujarat, dan Persia) sekitar abad 15, jelas sudah mengubah tatanan budaya pada masa itu. Budaya Hindu yang telah mengakar di masyarakat Nusantara mulai tergerus budaya Islam (Arab), begitu juga bahasa. Terbukti jumlah naskah-naskah kuna berbahasa Arab lebih banyak ketimbang naskah-naskah kuna berbahasa Sansekerta. Akhirnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mulai terbiasa menggunakan bahasa Arab  baik lisan maupun tulisan.
Setelah bahasa Arab, kosakata dalam bahasa Indonesia didominasi oleh bahasa Belanda. Nampaknya hal ini sudah bisa kita ketahui penyebabnya. Selama tiga setengah abad kita terperangkap zaman kolonialisme, selama itu pula budaya Indonesia terintervensi, antara lain sistem pemerintahan, tatanan agama, serta  bahasa. Kulkas, apotek, arloji, bui, duit adalah beberapa contoh kata yang berasal dari bahasa Belanda. Mungkin ada di antara kita baru sadar bahwa kata-kata tersebut berasal dari bahasa Belanda.
Lalu di zaman teknologi saat ini, dunia dikuasai bangsa-bangsa imperealis. Dan hebatnya lagi, bangsa-bangsa penguasa itu menggunakan bahasa Inggris. Mahkota “adikuasa” yang dikenakannya membuat bahasa Inggris diakui sebagai bahasa dunia atau internasional. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi tingkat dunia. Tak ada yang bisa menyanggah. Berangkat dari sana, Indonesia sebagai negara berkembang yang selalu ingin mengikuti kemajuan zaman dan berinteraksi dengan negara-negara lain, menjadikan bahasa Inggris sebagai suatu kebutuhan. Bukan hanya sistem ekonomi dan politik saja yang mereka kuasai, namun ilmu pengetahuan yang melahirkan produk-produk teknologi mengangkat mereka sebagai imam sekaligus kiblat. Tak mengherankan jika masyarakat kita berusaha menguasai bahasa Inggris, sehingga dalam kehidupan sehari-harinya kita mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Menyikapi Bahasa “Gado-gado”
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang dinamis. Sebuah komunitas yang berkembang sesuai perkembangan zaman. Begitulah seharusnya jika ingin menjadi masyarakat modern. Tidak menutup diri dari pergaulan dunia.
Saya melihat akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya interferensi bahasa asing  -khususnya bahasa Inggris- terhadap bahasa Indonesia hari ini adalah budaya kita yang masih kuno. Kuno yang dimaksud di sini bukan kuno dalam arti kata masih percaya tahayul, masih menggunakan delman, atau pun mendengarkan lagu keroncongan. Budaya kuno yang saya maksud adalah budaya yang ditinggalkan oleh masa kolonial. Belanda meninggalkan budaya buruk yang masih melekat dalam budaya kita, antara lain kebodohan bagi wong cilik, budaya korupsi, keotoriteran dalam kekuasaan dan sebagainya. Budaya buruk peninggalan masa kolonial tersebut pada akhirnya menghambat laju perekonomian, ilmu pengetahuan, dan politik Indonesia. Pada dasarnya bahasa Inggris masuk ke Indonesia melalui teknologi. Banyak istilah-istilah bahasa Inggris yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, jadi pemakaian bahasa Inggris pun tak terelakan.
Apa pun sebab-musababnya, fenomena bahasa “gado-gado” merupakan salah satu masalah yang rumit. Namun menurut saya, kita tak perlu khawatir dengan fenomena ini karena bagaimana pun dalam perkembangan bahasa Indonesia hari ini tidak bisa lepas dari interferensi bahasa Inggris. Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, masuknya bahasa Arab, Belanda dan lainnya akan menambah khazanah bahasa Indonesia. Tak usah kita dibebani perihal bagaimana pemakaian bahasa di masyarakat karena pembentukkan bahasa dapat terjadi secara bottom-up, artinya bahasa dapat tercipta dari pemakaian penuturnya. Yang harus kita lakukan pada akhirnya menumbuhkan kesadaran baru dalam berbudaya. Kita harus menciptakan sebuah peradaban baru dan sedikit demi sedikit bangkit dari rongrongan budaya masa kolonial. Pemerintah sebagai lembaga tertinggi wajib memberi ilmu pengetahuan kepada semua lapisan masyrakat, agar kelak kita bisa sejajar dengan bangsa lain dalam hal teknologi. Maju terus bangsaku, jaya selalu bahasa Indonesia.

Di Balik Nama Ragadiem, Antara Mitos dan Sejarah


Di Balik Nama Ragadiem, Antara Mitos dan Sejarah
(Sebuah Deskripsi Historis)

            Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten di selatan Jawa Barat. Kabupaten ini juga masih termasuk ke dalam wilayah Priangan timur beserta Bandung, Sumedang, dan Tasikmalaya. Selain terkenal dengan dodol yang khas dan sentra kulit, ternyata Garut menyimpan sejuta pesona alam yang indah. Mulai dari pegunungan berkawah yang menjulang, pantai yang landai dengan ombak biru, serta kota dengan bangunan indah yang didesain oleh kolonial tertata begitu apik. Lepas dari kekaguman saya pada kota tersebut, ada yang lebih menarik perhatian saya, yaitu cerita yang saya dengar tentang asal-usul nama daerah di kecamatan  paling timur kabupaten Garut, yaitu kecamatan Karangtengah. 
            Saya baru saja pulang dari KKN yang dilaksanakan oleh kampus selama 40 hari di sana. Keadaan alam yang berada di pegunungan membuat saya beserta kawan-kawan kelompok merasa betah tinggal di sana. Namun, di balik itu semua saya merasa takjub dengan sejarah daerah tersebut. Tak disangka, daerah terpencil seperti itu dapat menyimpan sejarah yang menakjubkan. Banyak cerita menarik yang saya dengar dari beberapa warga setempat. Cerita yang paling menarik adalah sejarah di balik nama-nama daerah di kecamatan Karangtengah tersebut. Dari semua cerita tersebut, saya membagi ke dalam tiga masa dan peristiwa.
            Pertama, pada masa pasca kemerdekaan dengan peristiwa DI/TII. Pada masa itu, kelompok DI/TII menginginkan pembentukan negera islam di Indonesia. Indonesia yang dilandaskan pada Pancasila jelas sekali bertentangan dengan tujuan pergerakan ini, karena keberagaman agama yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, pergerakan tersebut dilarang oleh pemerintah. Jelas sekali peristiwa ini berbau politik, dan yang namannya politik jelas sangatlah rumit. Kita tidak tahu mana yang benar dan salah karena dunia politik adalah abu-abu. Kembali pada topik kita, bahwa pergerakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Kartosuwiryo. Menurut, beberapa warga setempat daerah tersebut erat kaitannya dengan Kartosuwiryo dan pergerakan yang dipimpinnya itu. Bahkan kepala desa Caringin pada masa itu, salah satu desa di Karangtengah, kenal baik dengan Kartosuwiryo. Peristiwa tersebut memang tidak terkait pada asal-usul nama daerah tersebut, seperti apa yang saya ingin bahas. Namun, pergerak itu mengakar pada kehidupan sosial masyarakat daerah itu. Banyak warga yang memiliki paham seperti Kartosuwiryo, yang menginginkan Indonesia berlandaskan agama islam, namun tak seekstrim dia. Banyak “aliran” agama yang dianut oleh warga setempat. Semua itu sering kali membuat pertentangan dan perdebatan yang sengit terhadap masalah fikih. Di luar itu permasalahan itu, Karangtengah merupakan sebuah kecamatan yang islami. Banyak pondok pesantren berdiri di sana. Jelas sekali, masyarakat di sana masih memegang teguh agama yang diyakininya.         
             Kedua, masa kolonial dengan peristiwa pengasingan Cut Nyak Dien. Pada akhir abad 19 terjadi perang Aceh selama lebih dari 10 tahun. Pada akhir perang Aceh tersebut, seorang pejuang perempuan Aceh, Cut Nyak Dien, ditangkap dan diasing dari negerinya. Semua tahu dari buku sejarah bahwa Cut Nyak Dien diasingkan sampai meninggal dan dimakamkan di Sumedang. Namun, yang tak tercatat dalam sejarah adalah ketika diasingkan di Tanah Parahyangan (Sunda), ia tak sendiri. Ia ditangkap beserta pejuang Aceh lainnya, dan di tanah Sunda ini, ia beserta pengikutnya sempat melarikan diri ke daerah Garut, khususnya Karangtengah. Di Karangtengah, ia bersembunyi dan membuat markas di sebuah lembah yang terhalang oleh satu bukit. Tentara Belanda mengetahui tempat persembunyian tersebut lalu berniat untuk melakukan penyerangan. Saat tentara Belanda hampir mencapai kaki bukit tersebut, tentara Cut Nyak Dien menyerang mereka dengan panah yang dilontarkan dari puncak bukit tersebut. Maka, matilah semua tentara Belanda. Lalu karena tak mau kalah Belanda menyerang kembali tempat tersebut tak beberapa lama, Cut Nyak Dien pun mengalami kekalahan, kemudian lari ke daerah Sumedang sampai akhir hayatnya. Daerah tempat terbunuhnya bala tentara Belanda tersebut sekarang dinamai Ragadiem yang dapat diartikan tubuh-tubuh yang mati. Bukit yang digunakan sebagai benteng pertahanan tentara Cut Nyak Dien tersebut dinamai bukit Puncak Salam yang berarti puncak yang diberkahi. Sedangkan daerah yang dijadikan markas Cut Nyak Dien beserta pengikutnya dinamai Petinunggal (Peti = sebuah kotak penyimpanan; nunggal “tunggal”  = satu), karena pada waktu diasingkan Cut Nyak Dien hanya membawa satu buah peti yang entah isinya apa. Banyak mitos yang beredar di kalangan masyarakat bahwa peti tersebut berisi harta karun, dan sekarang terkubur bersama tubuh-tubuh pengikut Cut Nyak Dien yang terbunuh pada penyerangan Belanda yang kedua. Banyak warga yang sudah mencoba mencari harta karun itu dengan melakukan semedi (tapa) untuk mendapat wangsit di makam para pengikut Cut Nyak Dien yang terkenal angker itu, termasuk narasumber yang mengisahkan cerita ini. Ia mengaku tidak kuat karena begitu banyaknya godaan gaib, ia pun percaya belum ada yang kuat berlama-lama semedi di sana. Ada satu mitos lagi yang beredar di kalangan masyarakat tentang makam pengikut Cut Nyak Dien tersebut, yaitu jika tanaman di makam tersebut ditebangi, maka hutan di sekitar beserta kampung Petinunggal tersebut akan mengalami kebakaran. Hal ini pernah terjadi beberapa kali. Oleh karena itu saat ini warga Petinunggal (yang diduga keturunan para pengikut Cut Nyak Dien) tidak ada yang berani membersihkan tanaman yang tumbuh lebat dan menutupi area pemakaman tersebut, mereka biarkan pemakaman tersebut apa adanya bahkan sekarang sudah menyerupai hutan lebat.
            Cerita rakyat seperti dongeng atau mite biasa memiliki berbagai variasi cerita. Begitu pula dengan asal-usul nama Ragadiem. Di atas telah diceritakan salah satunya, namun ada sumber lain yang cukup menarik untuk dibahas. Dikisah ada seorang pangeran dari kerajaan Mataram memimpin pasukannya untuk menyerang kerajaan Galuh Padjajaran, namun mengalami kekalahan. Semua pasukannya dapat dibunuh oleh pasukan tentara kerajaan Galuh Padjajaran. Ia pun melarikan diri ke sebuah daerah di kaki bukit. Karena merasa malu atas kekalahannya, ia tak mau kembali ke istana. Ia menghabiskan masa hidupnya di daerah tersebut dengan bersemedi, mendekatkan diri pada Sang Hyang Widhi. Dari cerita tersebut Ragadiem berarti semedi atau tapa, juga dapat diartikan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan tak memikirkan keduniawian. Nama Ragadiem cukup istimewa bagi warga setempat, karena selain sejarah namanya, ternyata dari Ragadiem lahir beberapa tokoh penting. Warga setempat percaya keberhasilan tokoh tersebut tak lepas dari pangeran yang berasal dari kerajaan Mataram tersebut. Mereka meyakini keduanya merupakan keturunan sang pangeran. Itulah mitos yang berkembang di masyarakat. Kita jangan menelannya bulat-bulat karena biasanya sebuah cerita memiliki maksud dan amanat yang tersembunyi. Jika kita berpikir lebih jauh, cerita kedua ini memiliki kandungan filosofis Jawa. Ragadiem bukan hanya diartikan bersemedi atau bertapa, tetapi memiliki arti luas. Menurut saya, Ragadiem dapat berarti bekerja keras tanpa banyak bicara. Jika pun benar kedua tokoh itu merupakan keturunan sang pangeran, maka dapat disimpulkan bahwa sang pangeran menerapkan satu ajaran Jawa kepada keturunannya, yaitu bekerja keras tanpa banyak bicara. Tak heran jika kedua tokoh tersebut dapat sukses. Bukan karena ia keturunan sang pangeran semata, namun karena mereka mengamalkan ajaran leluhurnya. Satu pelajaran lagi yang dapat kita ambil dari cerita Ragadiem.
            Di luar dari itu semua ada satu hal yang masih jadi bahan pemikiran saya. Suatu hari salah satu dosen saya mengatakan bahwa tidak akan nama Gajah Mada, Hayam Wuruk atau Majapahit di daerah Sunda, baik itu nama jalan, bangunan atau tempat. Tentulah sejarah masa lalu dijadikan alasannya. Kita pasti pernah mendengar tentang Perang Bubat. Perang antara kerajaan Majapahit dan Padjajaran yang dipicu oleh kesalahpahaman antara sri patih Gajahmada dengan raja Sri Baduga. Perang yang terjadi di Bubat itu menewaskan seluruh rombongan kerajaan Padjajaran termasuk raja Sri Baduga beserta putrinya Dyah Pitaloka yang akan dinikahkan kepada raja Hayam Wuruk. Mungkin, kekecewaan atas pengkhiatan yang dilakukan kerajaan Majapahit ini akhirnya memunculkan dendam pada orang Sunda. Ternyata hal tersebut terbantahkan karena di desa Caringin terdapat sebuah daerah bernama Majapahit. Tidak banyak rumah dan bangunan berdiri di sana, hanya beberapa rumah dan dua buah sekolah dasar. Setelah saya mencari tahu bertanya kepada beberapa warga sekitar, diketahuilah bahwa dahulu daerah tersebut dijadikan tempat singgah sementara tentara Majapahit yang akan pergi ke kerajaan Galuh Padjajaran (Ciamis) dengan  tujuan menjemput rombongan  raja Sri Baduga dan Dyah Pitaloka sebelum terjadinya perang bubat. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa daerah itu merupakan makam pasukan kerajaan Majapahit yang gugur saat perang untuk menaklukan kerajaan Galuh. Tentunya hal tersebut harus diteliti lebih jauh oleh para arkeolog dan ahli sejarah. Saya berkeyakinan bahwa nama Majapahit tersebut muncul bukan tanpa alasan yang jelas. Ada nilai historis di sana. Apalagi lokasi daerah tersebut dekat dengan pusat kerajaan Galuh di Ciamis.
            

KRAYON FARIS HILANG LAGI


KRAYON FARIS HILANG LAGI

 “Mmmaaahhh...” dipeluknya pinggang mama. Mama yang sedang memasak kontan saja terkejut, karena tidak menyadari kedatangan anak semata wayangnya itu. “Mah, beli krayon dan buku gambar...” pinta Faris. “Eh, anak mamah, pulang sekolah bukannya memberi salam kok malah minta krayon. Cepat ganti baju dulu, cuci muka lalu kita makan bersama! Mamah sudah masak kesukaan kamu.” Saat mengetahui mama sedang memasak makanan kesukaannya, Faris pun segera berlari ke kamar untuk ganti baju dan melupakan keinginannya itu. Hari ini memang hari yang cukup melelahkan bagi Faris, karena hari ini dia dites lari pada pelajaran olahraga.
            Malam hari saat Faris sedang berkumpul dengan orang tuanya di ruang tv, Faris kembali meminta krayon dan buku gambar.
“Mah, Faris mau krayon dan buku gambar...” pinta Faris dengan memelas,
“Faris, dua minggu yang lalu ‘kan Mama sudah membelikan kamu krayon dan buku gambar satu pack. Koq sudah habis? Kan pelajaran menggambar tidak setiap hari?”
“Krayonnya hilang, Mah. Tidak tahu kemana.”
“Lalu semua buku gambar kamu juga hilang?! Kamu ini ada-ada saja.” kata mama marah.
Mamah pun tidak mengabulkan permintaan Faris. Mamah merasa heran dengan tingkah laku Faris akhir-akhir ini. Dia sering sekali kehilangan barang-barangnya di sekolah. Bukan hanya krayon dan buku gambar, tetapi sebelumnya pun Faris pernah kehilangan tempat pensil yang baru dibelikan Papa dari Singapura, serta beberapa perlengkapan sekolah lainnya.
            Karena setiap hari Faris merengek meminta krayon dan buku gambar, akhirnya mama pun menyerah juga dan membelikan sekotak krayon dan buku gambar satu pack lagi. “Hati-hati, jangan sampai hilang lagi ya!” mama mengingatkan. “Iya, Ma. Terima kasih ya, Ma...” Faris terlihat senang.
Beberapa hari kemudian, Faris menghampiri mama yang sedang menyiram tanaman hias di halaman belakang.
“Ma, besok kan ada pelajaran menggambar, Faris mau beli pensil warna dong, Ma,” Faris membujuk mama.
“Kenapa tidak pake krayon yang kemarin saja? Kan belum habis,” jawab sang mama.
“Anu...begini, Mah. Krayon Faris kemarin ketinggalan di sekolah, terus hilang sekarang,”
“Ya ampun Faris...krayon itu sudah hilang lagi!” mama tampak sangat kesal kepada Faris karena sudah menghilangkan lagi krayonnya.
            Keesokan harinya, tanpa sepengetahuan Faris, mama menemui Bu Rini di sekolah. Bu Rini adalah guru sekaligus wali kelas Faris. Mama menceritakan tentang barang-barang Faris yang sering hilang di sekolah. Bu Rini pun mendengarkan dengan tenang dan seksama. “Jadi, begitu Bu Rini. Apakah siswa lain juga sering kehilangan seperti ini?” pertanyaan tersebut mengakhiri cerita mama. “Maaf, Bu. Baik Faris maupun siswa-siswa yang lain tidak pernah ada yang melapor pada saya tentang kehilangan barang-barang. Malah, akhir-akhir ini saya sering melihat Faris meminjam alat tulis pada teman-temannya,” Bu Rini mencoba menjelaskan. “Oh iya, saya baru ingat, Bu. Saya beberapa kali pernah memergoki Faris sedang dikerumuni oleh anak-anak pemulung di kampung dekat sekolah ini, Bu. Mungkin saja ada hubungannya.”
            Mendengar penjelasan Bu Rini, mama memutuskan untuk menjemput Faris dari sekolah setiap hari agar tidak diganggu oleh anak-anak pemulung tersebut. Keesokan harinya, mulailah Faris diantar-jemput oleh sang mama. Satu bulan Faris diantar-jemput oleh mama, dan selama itu pula ia tak pernah kehilangan krayon dan barang-barang lainnya. Mama pun merasa lega dengan keadaan Faris sekarang.
            Suatu siang saat menjemput di sekolah, mama tidak menemukan Faris di sekolah. Biasanya dia menunggu di depan gerbang sekolah. Mama pun bertanya kepada penjaga sekolah. Penjaga sekolah mengatakan bahwa Faris tadi berjalan ke arah perkampungan kumuh dekat sekolah. Mama pun kaget dan langsung menyusul ke perkampungan.
Setelah melewati gang-gang yang sempit dan kumuh, tibalah mama di tanah lapang. Di sebarang lapangan, mama melihat Faris sedang duduk-duduk di bawah pohon bersama beberapa anak kampung. Mama pun segera menghampiri kerumunan anak-anak tersebut karena takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Faris.
Sesampainya dikerumunan, mama terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Ternyata Faris sedang belajar dengan anak-anak kampung tersebut. Melihat mama berdiri di sampingnya, Faris hanya tersenyum. Mama pun memeluknya.”Sekarang mama mengerti kenapa krayon dan buku-buku kamu selalu hilang,” mama merasa terharu dan bangga dengan Faris. Walaupun masih kelas 5 SD, Faris sudah memiliki jiwa sosial yang tinggi. Dia memberikan krayon, buku, pensil dan perlengkapan sekolah lainnya untuk teman-teman yang tidak mampu, dan membantu mereka belajar. 

PLAY STATION-KU


PLAY STATION-KU

            “Guuunn...Guunn...Gugun...!!!” mama terus memanggil-manggil, tapi tidak ada jawaban dari Gugun. Mama pun menghampiri kamar Gugun, kemudian membuka pintu kamar tersebut. Dilihatnya Gugun sedang asyik main PS. Mama hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sejak pulang sekolah tadi siang, Gugun langsung mengurung diri di kamar.
“Ya ampun, Gugun! Mama kira kamu sedang apa!” kata mama kesal. Gugun hanya tertawa kecil. Matanya tidak sedikit pun berpaling dari layar tv. Mamah hanya bisa menghela napas. Mama bermaksud meminta Gugun untuk menjaga adiknya, Didit, karena sore itu mama harus pergi.  “Mama akan pulang nanti malam, kamu tolong jaga Didit! Dia masih tidur sekarang di kamarnya.”
Saat Gugun asyik main PS, ternyata Didit terbangun. Ia mencari-cari sosok mama. “Ma...Mama...Ma...Mama...!” Didit terus memanggil mama. Kemudian dia mencari di kamar mama dan dapur, namun tidak ditemukan juga sang mama. Setengah putus asa, dia pun masuk ke kamar Gugun.
“Ka, mama mana? Kok tidak ada...” tanya Didit pada Gugun. Gugun tidak menjawab pertanyaan Didit karena terlalu asyik dengan PS-nya. Karena pertanyaan-pertanyaan Didit tidak dijawab oleh kakaknya, ia pun mulai menangis. Tangisannya sangat keras hingga menggema di kamar tersebut. Bukannya menghibur Didit, Gugun malah memarahinya. Gugun sangat terganggu dengan tangisan adiknya yang lebih keras dari suara PS. “Sudah diam! Sebentar lagi juga mama pulang...”
Merasa tidak dipedulikan oleh kakaknya, Didit memutuskan untuk mencari mama sendirian. Walaupun sudah keluar kamar, tangisan Didit masih terdengar jelas di kamar Gugun. Gugun mengacuhkannya, dia pikir Didit hanya akan menonton tv di ruang tengah. Beberapa menit kemudian, Gugun keluar kamar untuk mengambil air minum di dapur. Saat melewati ruang tengah, ia terheran-heran karena tidak menemukan Didit di sana. Tv pun tidak menyala. Itu berarti Didit tidak menonton tv dari tadi, pikir Gugun dalam hati.
Dengan segera Gugun memeriksa seluruh ruangan di rumahnya, tapi Didit tetap tidak ada. Kemudian, dia menuju pintu depan dan mencari Didit di halaman, tetapi belum juga dapat ditemukan. Wajah Gugun kemudian menjadi pucat saat mengetahui pintu gerbang rumahnya terbuka. Pasti tadi Didit keluar, karena pintu gerbang tidak ditutup kembali, pikir Gugun. Tanpa pikir panjang, Gugun langsung berlari keluar untuk mencari Didit.
Matahari sudah hampir tenggelam, Gugun pun memutuskan untuk pulang. Gugun sudah mengelilingi semua kompleks rumahnya. Dia sudah bertanya pada tetangganya atau orang-orang yang kebetulan lewat, tetapi tak seorang pun melihat Didit. Hatinya ingin menangis. Sesampainya di rumah, dia segera menuju kamarnya. Bagaimana mungkin dia bisa kehilangan adiknya gara-gara terlalu asyik main PS? Apa yang harus dikatakan pada mama kalau adiknya sekarang hilang? Ada rasa takut, menyesal, dan sedih dalam hati Gugun.
Tak lama kemudian, terdengarlah pintu depan yang dibuka. “Guuguunnn...Didiiittt...!! Mama pulang neh!” mama memanggil kedua anaknya. Mendengar kedatangan mama, Gugun segera berlari menghampiri. Dipeluknya sang mama dengan erat, kemudian Gugun menangis sejadi-jadinya. Apa yang dilakukan Gugun tentu saja membuat mama bingung.
“Ada apa sayang? Didit sudah bangun belum?” tanya mama
“Mmaa..mmaa..aaff...kan Gugun, Ma. Dii..ddiittt...dii..ddiitt...hilang, Ma,” dengan terbata-bata Gugun mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
“Taa..taa..ttaaddii..Didit menangis mencari mama..tapi Gugun malah mengacuhkannya...terus dia pergi sendiri keluar...tapi Gugun sudah coba mencarinya, Ma..” Gugun tidak sanggup melihat wajah mama. Dia takut mama akan marah. Oleh karena itu, dia hanya bisa menunduk.“Gugun menyesal, Ma...maafkan Gugun...” lanjut Gugun sambil menangis.
            Dengan penuh kasih sayang mama memeluk Gugun. Kemudian, mama menghapus air mata Gugun dan berkata,”Kamu janji tidak akan mengulanginya lagi?” Gugun mengangguk.
“Kalau begitu sekarang kamu jemput Didit di rumah Irsan...”
“Sebenarnya mama sudah pulang sejak tadi, lalu ketemu Didit di depan jalan komplek...Didit bilang kalau kamu tidak mau mengantarnya dan malah mengacuhkannya..”
“Akhirnya mama sengaja berdiam dulu di rumah Irsan...sekarang kamu tahu kan akibatnya jika terlalu asyik main PS tanpa mempedulikan sekitarmu. Coba bayangkan jika tadi mama tidak ketemu dengan Didit!”
“Iya, Ma...Gugun minta maaf. Gugun berjanji tidak akan mengulanginya.” Gugun pun segera berlari keluar untuk menjemput Didit yang sedang bermain di rumah Irsan, tetangga sebelahnya.

Ditumbalkan Kota Raya


Ditumbalkan Kota Raya

Ia berjalan gontai menantang kuasa hari. Tangannya begitu kuat menggenggam nasib yang terselip di map cokelat. Kemeja tak lagi menampakkan kerapihan setrika atau pun wangi sekedar minyak murah, yang dipakainya nampak seperti kertas koran yang sudah dibaca bertahun lalu. Kemeja itu didapat dari lemari ayah yang ia bongkar sewaktu mencari uang secara diam-diam. Kenangan itu sering masuk ke dalam kepalanya lalu menerjang hati. Perih. Sebenarnya ayah dan ibu tidak setuju apabila ia harus pergi. Apalagi harus memboyong istri dan anak semata wayangnya.
“Pokoknya saya akan tetap membawa Sarifah dan Imam bersama saya” Juhaeri bersikukuh.
“Apa kamu tidak tahu kalau hidup di sana itu sulit. Kalian mau tinggal di mana? Bagaimana dengan sekolah Imam?” cegah ayahnya. Ibu Juhaeri hanya bisa memeluk menantu dan cucunya yang ketakutan. Mereka bertiga duduk di bale-bale bersebelahan dengan kedua laki-laki yang sedang dicengkram ego.
“Bapak, tidak usah khawatir. Saya sudah mengontrak satu buah rumah di sana. Kalau sekolah Imam kan bisa diurus nanti kalau sudah pindah.” melontarkan alasan-alasan, tak mau kalah.
“Lalu bagaimana dengan sawah? Siapa yang nanti akan merawat sawah, Nak? Kamu tahu sendiri kalau bapak sudah tua.” lelaki kurus berjanggut itu berusaha membangun tanggul di matanya. Ada yang akan jebol.
Di tengah malam, pertengkaran itu usai tanpa penyelesaian. Juhaeri tak goyah oleh kata-kata ayah atau wajah sendu ibunya. Begitu kiranya pendirian seorang laki-laki. Dan sekarang ia melangkah di atas reruntuhan sesuatu yang dulu ia sebut tekad. 
Jalanan kota seperti benang yang kusut dan tak putus-putusnya. Hasil pintalan tangan-tangan udik. Kini Juhaeri sudah terbiasa melihat semraut jalan, sudah kebal mendengar orang saling maki, bahkan otaknya sudah bisa mencerna per-arah-an. Di sebuah halte bus, Juhaeri duduk bersama angin. Mereka sama-sama lelah setelah berkeliling menawarkan tenaga. Ditengoknya kabar langit. Entah di mana awan-awan main petak umpat.
            Dipandanginya orang-orang yang lalu-lalang itu. Apa bedanya aku dengan mereka, pikir Juhaeri. Juhaeri harus tetap bertahan di sini. Kalau pulang ke rumah bapak, ia pasti akan merasa menang. Ia akan menertawai kekalahan Juhaeri menaklukkan kota ini. Pikiran itu masih sama ketika ia meninggalkan kampung. “Tapi apa yang harus saya lakukan sekarang? Mengapa saya tak seberuntung Ujang. Bagaimana bisa setiap lebaran, dia pulang kampung dengan bawaan yang bagus-bagus. Banyak pula.” hati kecil Juhaeri penuh tanya. Tapi apakah pertanyaan selalu mencari jawaban? Kedua telapak tangan ia cermati. Apa ada yang salah dengan garis tangannya? Mungkin sudah beribu Juhaeri yang duduk di halte itu. Mereka adalah orang-orang udik yang datang bermodalkan tekad dan angan-angan. Mereka kehilangan arah, karena baru menyadari kalau garis tangan mereka begitu rumit. Sesaat kemudian bus menuju arah pulang pun datang, Juhaeri langsung naik.
Setelah turun dari bus, Juhaeri langsung menuju sebuah gang sempit. Bus pun melaju kembali layaknya predator mencari mangsa di rimba raya. Ketika masuk mulut gang, Juhaeri terhentak kaget melihat anak-anak lari keluar gang. Berteriak. Mereka seperti anak-anak tikus yang sedang dikejar seekor kucing lapar. Anak-anak itu berlari sembari menengadahkan wajah mereka ke atas.  Mereka tidak saling beradu atau pun tersandung batu, kaki-kaki mereka seakan mempunyai mata. Keingintahuan hati Juhaeri membuatnya ikut menengadah, mencari tahu apa yang sebenarnya anak-anak itu kejar. “Oh, ternyata layangan putus.” Di antara gerombolan itu, ada satu anak yang ia hapal “Imam… Imam…”. Yang dipanggil hanya menoleh, tersenyum lalu berlari bersama angin. Bersama kegembiraan kanak-kanak.
“Kejar terus mimpimu, Nak, sampai dapat. Setelah itu terbangkan sampai tinggi.” Layangan adalah impian. Oleh karena itu muncul pepatah terbangkan mimpimu setinggi langit, agar Tuhan tahu dan mengabulkannya. Ia seolah tertelan ingatannya sendiri. Bersama teman-teman sekampung dulu, Juhaeri membuat sendiri layangan untuk aduan. Mereka sering bermain layangan di sawah yang halodo atau di lapangan bal pinggir hutan.
Setelah berjalan cukup lama menyusuri gang-gang tikus, sampai juga ia di rumah kontrakan yang nampak tidak kuat lagi menahan usia, pun menyaksikan penghuninya menanggung beban hidup.
“Ipah…, Ipah…” pintu terus diketuk.
“Iya, Kang tunggu sebentar… saya sedang mencuci baju di belakang” sesaat kemudian pintu dibuka. Dari dalam terlihat Sarifah mengenakan daster basah tak karuan dengan rambut diikat ke belakang. Busa putih terlihat nyempil di sela-sela jari kaki dan betis, juga sedikit di lengan dasternya.
Gimana Kang hari ini, dapat kerjanya?” ditanya seperti itu, Juhaeri hanya menggelengkan kepala. Sarifah tak banyak tanya lagi. Hatinya harus belajar bersabar.
Juhaeri langsung masuk kamar, mengganti pakaiannya dengan kaos oblong dan sarung. Kemudian mengarah ke dapur lalu masuk ke kamar mandi. Sarifah segera menyiapkan makanan untuk suami tercinta. Sesaat kemudian Juhaeri keluar dengan handuk di bahu. Rambutnya sedikit basah membuat wajah usang itu terlihat lebih segar dan cerah. Ia duduk menghadap makanan yang dimasak istrinya pagi tadi.
“Ipah, mana sayurnya? Kok cuma ada lauk asin dan sambel” suara tersebut langsung menggema ke telinga Sarifah. Sarifah bergegas hanya tersenyum.
“Aduh, Kang. Untuk hari ini itu saja dulu. Kalau beli sayur, besok kita tidak bisa beli beras. Simpanan Ipah sudah dipakai semua untuk ongkos Akang nyari kerja.” Sarifah berusaha tegar.
“Terus Imam sudah makan? Aku baru menyadari kalau Imam kurusan. Akang melihatnya tadi sedang bermain sama anak-anak.” Ia sadar kalau selama di kota ini, ia sibuk mencari lowongan kerja. Lupa akan anak kesayangannnya itu.
“Sudah Kang. Imam sudah makan. Hanya saja ia selalu mengeluh tentang lauk-pauknya. Setiap hari Ipah harus membujuknya agar mau makan.” keluh Sarifah.
Tanpa harus berkata, Juhaeri tahu dalam hati istrinya pasti sedih dan bingung. Ia pun harus tabah.
“Prioritas utama kita saat ini adalah Imam. Akang ridho tidak makan, asalkan ia makan.”
“Apa tidak sebaiknya kita pulang ke kampung saja Kang?”
Hati Juhaeri serasa ditampar. Makanan yang dari tadi dikunyahnya tiba-tiba saja terasa pahit. Tetapi ia telan juga rasa pahit itu. Ingin rasanya ia menyerah pada nasib dengan pulang kembali ke kampung, tetapi harga dirinya berkata tidak. Ia harus terus berjuang sampai nafas terakhir untuk kebahagiaan istri dan Imam, anaknya.
“Biaya sekolah di sini mahal. Harus beli ini-itu. Kemarin saja Imam disuruh beli cat air, katanya untuk pelajaran menggambar.” ada kesedihan di mata Sarifah.
“Sabar ya, Pah. Akang yakin, akang bisa mendapatkan uang. Akang yakin bisa membahagiakan kalian berdua. Hidup akang cuma untuk kalian. Tapi, jangan sekali lagi pinta akang untuk kembali lagi ke rumah bapak.” masih ada kesedihan di mata Sarifah.
“Tapi Kang...” banyak kesedihan yang akhirnya jatuh dari mata Sarifah. Ia tidak bisa melanjutkan perkataannya.
Suasana menjadi begitu sunyi. Geraman mobil di jalan raya serasa berhenti. Waktu memberikan mereka kesempatan untuk saling memahami diri. Makanan sudah berasa entah, Juhaeri menyudahi saja. Tapi dunia tak mengizinkan mereka berlama-lama. Seseorang mengetuk pintu depan. Begitu kasar. Begitu tergesa-gesa. Sarifah membereskan pipinya dari air kesedihan sambil berjalan menuju pintu.
 “Iya, tunggu sebentar.” pintu di buka. “Eh, pak Mardi. Maaf Pak, ada apa ya?” terisak-isak.
“Begini loh, Bu. Si Imam..., Imam, Bu..., Imam ketabrak mobil..., di jalan depan gang.” memburu nafas. Habis berlari.
“Akaaanggg..., Imam Kang.” Sarifah jatuh tertahan pak Mardi.
“Di mana sekarang Imam, Pak?” Juhaeri dari tadi nguping di belakang langsung datang.
“Di... anu...,” pak Mardi berusaha membaringkan Sarifah di bale-bale.
Ada yang mengatakan bahwa kota raya tak ubahnya rimba raya. Semua makhluk buas tinggal di sana. Bersarang di pencakar langit dan gedung hijau. Dan sekarang tanpa menunggu jawaban dari pak Mardi, Juhaeri berlari masuk ke rimba raya. Mencari anaknya yang ditumbalkan kota raya.
                                                                                                                        Bandung, 2008