Interferensi Bahasa, Ancaman Budayakah?*
Bahasa Indonesia sebagai salah satu produk
daya pikir bangsa Indonesia sudah sepatutnya dipelihara kelangsungan hidupnya.
Selain sebagai bahasa pemersatu bahasa-bahasa ibu di Indonesia, bahasa
Indonesia merupakan bukti otentik bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
besar.
Perkembangan bahasa Indonesia saat ini
sedang diperbincangkan banyak orang. Perbincangan ini seputar pemakaian bahasa
asing ditengah bahasa Indonesia. Interferensi atau campur tangan bahasa
asing terhadap bahasa Indonesia menimbulkan permasalahan di kalangan pemerhati
bahasa Indonesia sendiri. Sebenarnya interferensi bahasa asing terhadap bahasa
Indonesia bukanlah fenomena baru dalam perkembangan bahasa Indonesia.
Lahirnya Bahasa Indonesia
Kita
yakini bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, lalu apa benar bahasa
Indonesia hanya lahir dari bahasa tersebut? Dilihat secara historis, bahasa
Indonesia lahir memang dari satu rahim ibu yaitu bahasa Melayu, namun berbagai
bahasa “ayah” saling mengisi dan melengkapi. Menurut Remy Silado dalam bukunya 9 dari 10 Bahasa Indonesia Adalah Bahasa Asing
sudah sangat jelas menegaskan bahwa sebenarnya bahasa Indonesia merupakan
campuran dari berbagai bahasa. Sebut saja bahasa Arab, Cina, Belanda, Inggris dan
berbagai bahasa lain di Eropa, sudah
menyumbang dalam khazanah bahasa Indonesia.
Seharusnya
kita tidak kalang kabut ketika mengetahui keadaan bahasa Indonesia sekarang
yang sedang diagresi bahasa asing. Dikepung dari berbagai arah, terutama dari
media massa, karena media massa merupakan senjata pamungkas yang bisa menghancurkan
benteng bahasa dengan mudah. Kondisi konsumtif masyarakat Indonesia sendiri
yang malah mempermudahrkan agresi bahasa tersebut.
Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan
salah satu unsur budaya, maka interferensi bahasa asing terhadap bahasa
Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk intervensi budaya asing
terhadap budaya Indonesia. Maraknya kata-kata bahasa Inggris dalam pelafalan
masyarakat sehari-hari merupakan salah satu indikasi bahwa budaya kita sendiri
sedang dicampurtangani oleh budaya Inggris (dibaca: budaya barat). Dalam Bahasa Bantu karya Drs. Ma’mur Saadie,
M.Pd dkk, jumlah kata dari bahasa asing yang
diserap ke dalam bahasa Indonesia terbanyak yaitu bahasa Arab lalu disusul oleh
bahasa Belanda. Tentu saja masuknya bahasa-bahasa tersebut dilatarbelakangi
keadaan budaya pada masa itu.
Sejak masa pendeklarasian bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional pada tahun 1928, bahasa Indonesia sudah menyerap banyak
bahasa Arab. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim
terbanyak di dunia. Masuknya islam sebagai agama yang dibawa oleh para pedagang
bangsa Arab (Arab, Gujarat, dan Persia) sekitar abad 15, jelas sudah mengubah
tatanan budaya pada masa itu. Budaya Hindu yang telah mengakar di masyarakat
Nusantara mulai tergerus budaya Islam (Arab), begitu juga bahasa. Terbukti jumlah
naskah-naskah kuna berbahasa Arab lebih banyak ketimbang naskah-naskah kuna
berbahasa Sansekerta. Akhirnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mulai
terbiasa menggunakan bahasa Arab baik
lisan maupun tulisan.
Setelah bahasa Arab, kosakata dalam bahasa
Indonesia didominasi oleh bahasa Belanda. Nampaknya hal ini sudah bisa kita
ketahui penyebabnya. Selama tiga setengah abad kita terperangkap zaman
kolonialisme, selama itu pula budaya Indonesia terintervensi, antara lain
sistem pemerintahan, tatanan agama, serta
bahasa. Kulkas, apotek, arloji, bui, duit adalah beberapa contoh kata
yang berasal dari bahasa Belanda. Mungkin ada di antara kita baru sadar bahwa
kata-kata tersebut berasal dari bahasa Belanda.
Lalu di zaman teknologi saat ini, dunia dikuasai
bangsa-bangsa imperealis. Dan hebatnya lagi, bangsa-bangsa penguasa itu
menggunakan bahasa Inggris. Mahkota “adikuasa” yang dikenakannya membuat bahasa
Inggris diakui sebagai bahasa dunia atau internasional. Bahasa yang digunakan
dalam komunikasi tingkat dunia. Tak ada yang bisa menyanggah. Berangkat dari
sana, Indonesia sebagai negara berkembang yang selalu ingin mengikuti kemajuan
zaman dan berinteraksi dengan negara-negara lain, menjadikan bahasa Inggris
sebagai suatu kebutuhan. Bukan hanya sistem ekonomi dan politik saja yang
mereka kuasai, namun ilmu pengetahuan yang melahirkan produk-produk teknologi mengangkat
mereka sebagai imam sekaligus kiblat. Tak mengherankan jika masyarakat kita
berusaha menguasai bahasa Inggris, sehingga dalam kehidupan sehari-harinya kita
mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Menyikapi Bahasa “Gado-gado”
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
yang dinamis. Sebuah komunitas yang berkembang sesuai perkembangan zaman.
Begitulah seharusnya jika ingin menjadi masyarakat modern. Tidak menutup diri
dari pergaulan dunia.
Saya melihat akar permasalahan yang
menyebabkan terjadinya interferensi bahasa asing -khususnya bahasa Inggris- terhadap bahasa
Indonesia hari ini adalah budaya kita yang masih kuno. Kuno yang dimaksud di
sini bukan kuno dalam arti kata masih percaya tahayul, masih menggunakan
delman, atau pun mendengarkan lagu keroncongan. Budaya kuno yang saya maksud
adalah budaya yang ditinggalkan oleh masa kolonial. Belanda meninggalkan budaya
buruk yang masih melekat dalam budaya kita, antara lain kebodohan bagi wong cilik, budaya korupsi, keotoriteran
dalam kekuasaan dan sebagainya. Budaya buruk peninggalan masa kolonial tersebut
pada akhirnya menghambat laju perekonomian, ilmu pengetahuan, dan politik Indonesia. Pada dasarnya
bahasa Inggris masuk ke Indonesia melalui teknologi. Banyak istilah-istilah
bahasa Inggris yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, jadi
pemakaian bahasa Inggris pun tak terelakan.
Apa pun sebab-musababnya, fenomena bahasa
“gado-gado” merupakan salah satu masalah yang rumit. Namun menurut saya, kita
tak perlu khawatir dengan fenomena ini karena bagaimana pun dalam perkembangan
bahasa Indonesia hari ini tidak bisa lepas dari interferensi bahasa Inggris.
Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, masuknya bahasa Arab, Belanda dan
lainnya akan menambah khazanah bahasa Indonesia. Tak usah kita dibebani perihal
bagaimana pemakaian bahasa di masyarakat karena pembentukkan bahasa dapat
terjadi secara bottom-up, artinya
bahasa dapat tercipta dari pemakaian penuturnya. Yang harus kita lakukan pada
akhirnya menumbuhkan kesadaran baru dalam berbudaya. Kita harus menciptakan
sebuah peradaban baru dan sedikit demi sedikit bangkit dari rongrongan budaya
masa kolonial. Pemerintah sebagai lembaga tertinggi wajib memberi ilmu
pengetahuan kepada semua lapisan masyrakat, agar kelak kita bisa sejajar dengan
bangsa lain dalam hal teknologi. Maju terus bangsaku, jaya selalu bahasa
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar