Selasa, 25 Oktober 2011

Interferensi Bahasa, Ancaman Budayakah?*


Interferensi Bahasa, Ancaman Budayakah?*

Bahasa Indonesia sebagai salah satu produk daya pikir bangsa Indonesia sudah sepatutnya dipelihara kelangsungan hidupnya. Selain sebagai bahasa pemersatu bahasa-bahasa ibu di Indonesia, bahasa Indonesia merupakan bukti otentik bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar.
Perkembangan bahasa Indonesia saat ini sedang diperbincangkan banyak orang. Perbincangan ini seputar pemakaian bahasa asing ditengah bahasa Indonesia. Interferensi atau campur tangan bahasa asing terhadap bahasa Indonesia menimbulkan permasalahan di kalangan pemerhati bahasa Indonesia sendiri. Sebenarnya interferensi bahasa asing terhadap bahasa Indonesia bukanlah fenomena baru dalam perkembangan bahasa Indonesia.
Lahirnya Bahasa Indonesia
            Kita yakini bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, lalu apa benar bahasa Indonesia hanya lahir dari bahasa tersebut? Dilihat secara historis, bahasa Indonesia lahir memang dari satu rahim ibu yaitu bahasa Melayu, namun berbagai bahasa “ayah” saling mengisi dan melengkapi. Menurut Remy Silado dalam bukunya 9 dari 10 Bahasa Indonesia Adalah Bahasa Asing sudah sangat jelas menegaskan bahwa sebenarnya bahasa Indonesia merupakan campuran dari berbagai bahasa. Sebut saja bahasa Arab, Cina, Belanda, Inggris dan berbagai bahasa lain di Eropa, sudah  menyumbang dalam khazanah bahasa Indonesia.
            Seharusnya kita tidak kalang kabut ketika mengetahui keadaan bahasa Indonesia sekarang yang sedang diagresi bahasa asing. Dikepung dari berbagai arah, terutama dari media massa, karena media massa merupakan senjata pamungkas yang bisa menghancurkan benteng bahasa dengan mudah. Kondisi konsumtif masyarakat Indonesia sendiri yang malah mempermudahrkan agresi bahasa tersebut. 
Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan salah satu unsur budaya, maka interferensi bahasa asing terhadap bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk intervensi budaya asing terhadap budaya Indonesia. Maraknya kata-kata bahasa Inggris dalam pelafalan masyarakat sehari-hari merupakan salah satu indikasi bahwa budaya kita sendiri sedang dicampurtangani oleh budaya Inggris (dibaca: budaya barat). Dalam Bahasa Bantu karya Drs. Ma’mur Saadie, M.Pd  dkk, jumlah kata dari bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia terbanyak yaitu bahasa Arab lalu disusul oleh bahasa Belanda. Tentu saja masuknya bahasa-bahasa tersebut dilatarbelakangi keadaan budaya pada masa itu.  
Sejak masa pendeklarasian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pada tahun 1928, bahasa Indonesia sudah menyerap banyak bahasa Arab. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Masuknya islam sebagai agama yang dibawa oleh para pedagang bangsa Arab (Arab, Gujarat, dan Persia) sekitar abad 15, jelas sudah mengubah tatanan budaya pada masa itu. Budaya Hindu yang telah mengakar di masyarakat Nusantara mulai tergerus budaya Islam (Arab), begitu juga bahasa. Terbukti jumlah naskah-naskah kuna berbahasa Arab lebih banyak ketimbang naskah-naskah kuna berbahasa Sansekerta. Akhirnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mulai terbiasa menggunakan bahasa Arab  baik lisan maupun tulisan.
Setelah bahasa Arab, kosakata dalam bahasa Indonesia didominasi oleh bahasa Belanda. Nampaknya hal ini sudah bisa kita ketahui penyebabnya. Selama tiga setengah abad kita terperangkap zaman kolonialisme, selama itu pula budaya Indonesia terintervensi, antara lain sistem pemerintahan, tatanan agama, serta  bahasa. Kulkas, apotek, arloji, bui, duit adalah beberapa contoh kata yang berasal dari bahasa Belanda. Mungkin ada di antara kita baru sadar bahwa kata-kata tersebut berasal dari bahasa Belanda.
Lalu di zaman teknologi saat ini, dunia dikuasai bangsa-bangsa imperealis. Dan hebatnya lagi, bangsa-bangsa penguasa itu menggunakan bahasa Inggris. Mahkota “adikuasa” yang dikenakannya membuat bahasa Inggris diakui sebagai bahasa dunia atau internasional. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi tingkat dunia. Tak ada yang bisa menyanggah. Berangkat dari sana, Indonesia sebagai negara berkembang yang selalu ingin mengikuti kemajuan zaman dan berinteraksi dengan negara-negara lain, menjadikan bahasa Inggris sebagai suatu kebutuhan. Bukan hanya sistem ekonomi dan politik saja yang mereka kuasai, namun ilmu pengetahuan yang melahirkan produk-produk teknologi mengangkat mereka sebagai imam sekaligus kiblat. Tak mengherankan jika masyarakat kita berusaha menguasai bahasa Inggris, sehingga dalam kehidupan sehari-harinya kita mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Menyikapi Bahasa “Gado-gado”
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang dinamis. Sebuah komunitas yang berkembang sesuai perkembangan zaman. Begitulah seharusnya jika ingin menjadi masyarakat modern. Tidak menutup diri dari pergaulan dunia.
Saya melihat akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya interferensi bahasa asing  -khususnya bahasa Inggris- terhadap bahasa Indonesia hari ini adalah budaya kita yang masih kuno. Kuno yang dimaksud di sini bukan kuno dalam arti kata masih percaya tahayul, masih menggunakan delman, atau pun mendengarkan lagu keroncongan. Budaya kuno yang saya maksud adalah budaya yang ditinggalkan oleh masa kolonial. Belanda meninggalkan budaya buruk yang masih melekat dalam budaya kita, antara lain kebodohan bagi wong cilik, budaya korupsi, keotoriteran dalam kekuasaan dan sebagainya. Budaya buruk peninggalan masa kolonial tersebut pada akhirnya menghambat laju perekonomian, ilmu pengetahuan, dan politik Indonesia. Pada dasarnya bahasa Inggris masuk ke Indonesia melalui teknologi. Banyak istilah-istilah bahasa Inggris yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, jadi pemakaian bahasa Inggris pun tak terelakan.
Apa pun sebab-musababnya, fenomena bahasa “gado-gado” merupakan salah satu masalah yang rumit. Namun menurut saya, kita tak perlu khawatir dengan fenomena ini karena bagaimana pun dalam perkembangan bahasa Indonesia hari ini tidak bisa lepas dari interferensi bahasa Inggris. Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, masuknya bahasa Arab, Belanda dan lainnya akan menambah khazanah bahasa Indonesia. Tak usah kita dibebani perihal bagaimana pemakaian bahasa di masyarakat karena pembentukkan bahasa dapat terjadi secara bottom-up, artinya bahasa dapat tercipta dari pemakaian penuturnya. Yang harus kita lakukan pada akhirnya menumbuhkan kesadaran baru dalam berbudaya. Kita harus menciptakan sebuah peradaban baru dan sedikit demi sedikit bangkit dari rongrongan budaya masa kolonial. Pemerintah sebagai lembaga tertinggi wajib memberi ilmu pengetahuan kepada semua lapisan masyrakat, agar kelak kita bisa sejajar dengan bangsa lain dalam hal teknologi. Maju terus bangsaku, jaya selalu bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar